Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar penikmat dakwah atau pendukung dakwah. Jadilah seorang muslim mujahid (muslim pejuang), bukan muslim qa’id (muslim yang duduk). Tidaklah sama seseorang yang berjihad di jalan Allah dengan orang-orang yang hanya duduk tidak berbuat sesuatu untuk agama Allah.
Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar penikmat dakwah yang hanya mengambil keuntungan dari dakwah atau hanya menikmati sendiri tarbiyah yang didapatkan. Kita perlu evaluasi diri, apakah yang sudah kita berikan untuk dakwah? Apakah selama ini kita sekedar numpang nikmat hidup di bawah naungan tarbiyah, numpang keren bersama ikhwan dan akhwat fillah, numpang beken dan populer di jalan dakwah atau numpang aman cari prestise dan posisi di dalamnya?
Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar menjadi pendukung dakwah. Tidak sekedar memberi dukungan atau sepakat dengan dakwah tetapi ikut memperjuangkannnya. Jadilah pejuang dakwah seperti halnya para sahabat yang ruhul istijabah, bersegera menyambut panggilan dakwah. Seperti halnya Miqdad bin ‘Amr ketika menjelang perang Badar beliau mengatakan: “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa, yaitu “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk disini”. Tetapi yang kami katakan kepadamu adalah: “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamu.” Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad(suatu tempat di Yaman), pasti kami tetap mengikutimu sampai disana.”
Jadilah pejuang dakwah yang selalu siap ditempatkan dimana saja, yang taat dan siap menerima amanah seperti halnya Hudzaifah yang taat ketika mendapatkan amanah untuk menyusup ke barisan musuh padahal kondisi saat itu (perang Ahzab) cuaca sangat dingin dan tentunya nyawa menjadi taruhannya jika sampai ketahuan.
Jadilah pejuang dakwah yang jiddiyah (bersungguh-sungguh) dan profesional dalam melaksanakan amanah, tidak menjadikannya beban tapi justru menjadikannya sebagai ladang amal. Dengan memiliki amanah, seseorang akan senantiasa berada bersama orang-orang shalih yang akan saling mengingatkan, berada dalam suasana ukhuwah yang indah meski banyak ujian yang dihadapi dan akan terpacu untuk selalu meningkatkan kualitas diri. Dengan memiliki amanah kita bisa lebih mampu memanaj aktifitas kita. Dan ketika kita dihadapkan dengan berbagai kepentingan, maka kita bisa bersikap tajarud, memurnikan pola pikir kita dari berbagai prinsip, nilai dan pengaruh individu. Tidak meninggalkan segala-galanya demi dakwah tetapi membawa semua yang kita punya bersama dakwah. Menjadikan cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya sebagai cinta tertinggi kita.
Mengutip tulisan di buku “Quantum Tarbiyah”, janganlah kita menjadi kader manja. Kader yang tidak siap memikul beban, padahal tantangan dakwah semakin berat. Apalagi kebatilan terus melakukan konsolidasi dengan cepat, rapat dan akurat. Jangan menjadi kader manja yang serba tidak siap, serba tidak bisa disuruh apa saja, pokoknya nggak bisa dan nggak mau, titik! Manja, karena ilmunya disayangi sendiri, tidak diwariskan pada anak isteri maupun mutarobbi. Manja, nggak segera membina untuk mewariskan ilmunya. Manja karena kalau diberi amanah tidak profesional. Bila disuruh membina malah “membinasakan”. Ketika binaan datang dia nggak datang, kalau dia datang binaan nggak nongol (kayak Tom and Jerry aja katanya he..he..).
Seorang da’i harusnya bisa menjadi teladan, rela berkorban dan banyak memberikan stok kebaikan kepada mad’unya. Untuk bisa menyentuh hati mad’unya, mengajaknya dalam kebaikan maka seorang da’i harus bersabar, telaten dalam ‘ngemong’ mad’unya, jangan sampai lebih sering absen daripada mad’unya, lama kelamaan bisa bubar dech.
Hidup ini pilihan, perjuangan dan pertanggungjawaban. Kita sendiri yang menentukan setiap pilihan. Kita sendiri juga yang menentukan prioritas kepentingan kita. Bukan kita yang diatur oleh waktu dan pekerjaan kita, tetapi kitalah yang mengatur waktu dan pekerjaan kita. Kita tidak akan punya waktu jika kita tidak berusaha menyempatkannya. Tidak ada alasan pula bagi seorang aktifis dakwah untuk tidak mau membina dengan alasan sibuk. Tidak ada alasan pula bagi seorang aktifis dakwah untuk menyepelekan tarbiyah dengan tidak hadir dalam halaqah karena alasan sibuk, entah sibuk dengan pekerjaan, keluarga ataupun dakwah. Memang tarbiyah bukan segala-galanya, tapi segala-galanya bisa bermula dari tarbiyah.
Wallahu a’lam bishowab
Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar penikmat dakwah yang hanya mengambil keuntungan dari dakwah atau hanya menikmati sendiri tarbiyah yang didapatkan. Kita perlu evaluasi diri, apakah yang sudah kita berikan untuk dakwah? Apakah selama ini kita sekedar numpang nikmat hidup di bawah naungan tarbiyah, numpang keren bersama ikhwan dan akhwat fillah, numpang beken dan populer di jalan dakwah atau numpang aman cari prestise dan posisi di dalamnya?
Jadilah pejuang dakwah, tidak sekedar menjadi pendukung dakwah. Tidak sekedar memberi dukungan atau sepakat dengan dakwah tetapi ikut memperjuangkannnya. Jadilah pejuang dakwah seperti halnya para sahabat yang ruhul istijabah, bersegera menyambut panggilan dakwah. Seperti halnya Miqdad bin ‘Amr ketika menjelang perang Badar beliau mengatakan: “Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu. Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa, yaitu “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk disini”. Tetapi yang kami katakan kepadamu adalah: “Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamu.” Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad(suatu tempat di Yaman), pasti kami tetap mengikutimu sampai disana.”
Jadilah pejuang dakwah yang selalu siap ditempatkan dimana saja, yang taat dan siap menerima amanah seperti halnya Hudzaifah yang taat ketika mendapatkan amanah untuk menyusup ke barisan musuh padahal kondisi saat itu (perang Ahzab) cuaca sangat dingin dan tentunya nyawa menjadi taruhannya jika sampai ketahuan.
Jadilah pejuang dakwah yang jiddiyah (bersungguh-sungguh) dan profesional dalam melaksanakan amanah, tidak menjadikannya beban tapi justru menjadikannya sebagai ladang amal. Dengan memiliki amanah, seseorang akan senantiasa berada bersama orang-orang shalih yang akan saling mengingatkan, berada dalam suasana ukhuwah yang indah meski banyak ujian yang dihadapi dan akan terpacu untuk selalu meningkatkan kualitas diri. Dengan memiliki amanah kita bisa lebih mampu memanaj aktifitas kita. Dan ketika kita dihadapkan dengan berbagai kepentingan, maka kita bisa bersikap tajarud, memurnikan pola pikir kita dari berbagai prinsip, nilai dan pengaruh individu. Tidak meninggalkan segala-galanya demi dakwah tetapi membawa semua yang kita punya bersama dakwah. Menjadikan cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya sebagai cinta tertinggi kita.
Mengutip tulisan di buku “Quantum Tarbiyah”, janganlah kita menjadi kader manja. Kader yang tidak siap memikul beban, padahal tantangan dakwah semakin berat. Apalagi kebatilan terus melakukan konsolidasi dengan cepat, rapat dan akurat. Jangan menjadi kader manja yang serba tidak siap, serba tidak bisa disuruh apa saja, pokoknya nggak bisa dan nggak mau, titik! Manja, karena ilmunya disayangi sendiri, tidak diwariskan pada anak isteri maupun mutarobbi. Manja, nggak segera membina untuk mewariskan ilmunya. Manja karena kalau diberi amanah tidak profesional. Bila disuruh membina malah “membinasakan”. Ketika binaan datang dia nggak datang, kalau dia datang binaan nggak nongol (kayak Tom and Jerry aja katanya he..he..).
Seorang da’i harusnya bisa menjadi teladan, rela berkorban dan banyak memberikan stok kebaikan kepada mad’unya. Untuk bisa menyentuh hati mad’unya, mengajaknya dalam kebaikan maka seorang da’i harus bersabar, telaten dalam ‘ngemong’ mad’unya, jangan sampai lebih sering absen daripada mad’unya, lama kelamaan bisa bubar dech.
Hidup ini pilihan, perjuangan dan pertanggungjawaban. Kita sendiri yang menentukan setiap pilihan. Kita sendiri juga yang menentukan prioritas kepentingan kita. Bukan kita yang diatur oleh waktu dan pekerjaan kita, tetapi kitalah yang mengatur waktu dan pekerjaan kita. Kita tidak akan punya waktu jika kita tidak berusaha menyempatkannya. Tidak ada alasan pula bagi seorang aktifis dakwah untuk tidak mau membina dengan alasan sibuk. Tidak ada alasan pula bagi seorang aktifis dakwah untuk menyepelekan tarbiyah dengan tidak hadir dalam halaqah karena alasan sibuk, entah sibuk dengan pekerjaan, keluarga ataupun dakwah. Memang tarbiyah bukan segala-galanya, tapi segala-galanya bisa bermula dari tarbiyah.
Wallahu a’lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar